Salah satu yang menjadi permasalahan dalam menumbuhkan investasi di Indonesia adalah adanya regulasi yang saling tumpang tindih. Hal ini dapat dilihat Presiden Jokowi sampai menginstruksikan dalam sidang kabinet kepada jajaran pimpinan Kementerian/Lembaga untuk memangkas 42 ribu aturan yang selama ini menghambat investasi .
Setidaknya ada 5 sektor yang perizinannya akan dipangkas yaitu agraria, penanaman modal, energi, kilang, dan perdagangan. Permasalahan ini juga diungkapkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa salah satu hambatan mengapa pertumbuhan ekonomi di Indonesia hanya 5,01 % dikarenakan aturan yang tumpang tindih baik di pusat maupun di daerah . Salah satu opsi yang coba dilakukan oleh Pemerintah adalah menerapkan omnibus law di Indonesia.
Hal ini bukan tanpa tantangan. Secara tradisi, omnibus law lahir dari tradisi sistem common law namun sudah banya negara dengan tradisi civi law yang menggunakannya. Menurut Audrey Obrien Omnibus law merupakan suatu rancangan undang-undang yang mengandung lebih dari satu materi atau beberapa materi yang dijadikan dalam satu undang-undang.
Sementara itu, menurut Barbara Sinclair Omnibus law adalah penyusunan peraturan yang terdiri dari banyak dan tidak terkait subjek, isu, dan program sehingga pada umumnya kompleks dan panjang. Secara umum, menurut Jimmy Z Usfunan terdapat 3 pola dalam Omnibus law yaitu Omnibus law yang sifatnya peninjauan terhadap undang-undang, pengaturan materi baru dan mencabut peraturan-peraturan terkait, dan pengaturan kebijakan perekonomian.
Dalam sejarah peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, Indonesia pernah mengeluarkan kebijakan seperti “omnibus law”. Hal ini dapat kita lihat di dalam Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPR Sementara dan Ketetapan MPR RI tahun 1960 sampai dengan tahun 2002 yang mana di dalam TAP MPR RI tersebut mengatur mengenai TAP MPR mana saja yang dinyatakan tidak berlaku dan dinyatakan berlaku.
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang diperbolehkan mengatur lebih dari satu materi muatan undang-undang. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Bagir Manan bahwa penggunaan frase “diatur dalam” berarti suatu hal tersebut tidak harus diatur dengan Undang-Undang tersendiri sedangkan frase “diatur dengan” berarti suatu hal tersebut harus diatur dengan Undang-Undang tersendiri.
Pro dan Kontra Omnibus law
Penerapan Omnibus law di Indonesia bukan tanpa hambatan adanya pro dan kontra dalam memahami Omnibus law apabila diterapkan di Indonesia. Argumen yang mendukung Omnibus law menyatakan bahwa Omnibus law dapat diterapkan di Indonesia dengan menggunakan asas lex posteriori derogate legis priori namun dengan catatan tidak memaknai Omnibus law sebagai lex generalis.
Argumen yang menolak penerapan Omnibus law di Indonesia menyatakan bahwa secara konseptual Omnibus law merupakan “Undang-Undang Payung” (Umbrella law) sebagaimana di Belanda yang menggunakan sistem “Undang-Undang Payung”. Indonesia berdasarkan UUD 1945 tidak menggunakan sistem “Undang-Undang Payung”. Di dalam UUD 1945 kedudukan Undang-Undang setara yaitu produk hukum yang dibuat oleh DPR dan Presiden.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan apabila ingin menggunakan sistem “Undang-Undang Payung” adalah dengan memfungsikan kembali Ketetapan MPR/TAP MPR. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, TAP MPR merupakan salah satu dari peraturan perundang-undangan.
Posisi TAP MRP berada di bawah UUD 1945 dan di atas Undang-Undang. Dilematisnya, apabila TAP MPR difungsikan lagi maka posisi MPR akan menjadi lembaga tertinggi yang mana di dalam UUD 1945 semua lembaga negara berkedudukan setara.
Oleh sebab itu, apabila ingin menggunakan Omnibus law salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan klasifikasi secara komperhensif aturan-aturan mana yang ingin dibatalkan. Jangan sampai penggunaan Omnibus law justru membatalkan aturan-aturan yang dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan pembangunan.